Unknown

       Terdengar suara dari gesekan rel kereta api dengan roda baja yang amat kencang. Sekilas rimbunnya pepohonan tampak ikut menyemarakkan pagi ini. Namun cukup mencengangkan, hal indah seperti ini tidak membuat mereka yang berdasi merasa puas dan ingin hidup didalamnya. Yang mereka pikirkan hanyalah sebuah tong yang kosong. Sapaan dari teman-teman dan hangatnya mentari yang mencoklatkan kulit cukup untuk membuatku bangga menjadi insan yang hidup di lingkungan ini. Setiap pagi ku kayuh sepeda kumbang ini, pertanda kegigihanku untuk menggapai mimpi semakin hari semakin menggebu saja. Hamparan hijaunya sawah membuatku tak ingin meninggalkan satu episode pun mengenai hal ini.                             
      
      Hingga pada disuatu titik ribuan suara menuntunku untuk pergi dan berdiri diatas mimbar. Dan pada akhirnya mereka menginginkan aku berjalan diatas kerikil tanpa mengenakan alas kaki. Kejam memang, tetapi semua tangisan dan rasa sakit itu seakan pergi bersama riuhnya tepuk tangan yang menggema dari setiap sudut aula.

"Apa yang sedang terjadi disana?" teriak seseorang dari kerumunan.

"Siapa disana? kemarilah keatas mimbar!" sahutku. 
      
       Dengan tubuh kecilnya ia kemudian berdesak-desakkan agar sampai diatas mimbar untuk menemuiku. Sesampainya ia diatas mimbar, kemudian aku berbisik kepadanya.

"Apa yang kau katakan  disana tadi? maaf kawan kerasnya suaramu masih kalah oleh gemuruh dari kerumunan itu"

"Ah, yen mungkin orang sepertiku terlalu lancang untuk berbicara denganmu seperti ini. Sudahlah lupakan"

"Orang egois yang angkuh seperti sampah layaknya diriku ini masih dapat menginjakkan kaki diatas mimbar, lalu lihat dirimu. Kau seperti peri yang masih bisa merendah dihadapan sampah sepertiku. Ayo cepat katakan saja kawan"

"Betapa bodohnya diriku, masih saja ingin berangan-angan menjadi salahsatu dari kolega-mu"

"Angan-angan? kau membicarakan tentang angan-angan? mari kita tukarkan angan-angan itu menjadi sebuah tindakan yang menjadi kenyataan!"

       Lalu ia kemudian memelukku erat sembari menangis terharu. Disini aku belajar bahwa hal kecil yang kita punya, mampu membahagiakan oranglain. Hari terus berlalu dan aku masih duduk termangu mengingat cerita tentang si peri telah berlalu. Hingga kelereng,sendok,semangka,coklat,kepingan logam dan semua canda tawa sempat membuat hidup ini terasa lengkap.
  
      Tembakkan meriam dari sudut kota seakan membuatku terbangun dari lamunan. Telinga ini terasa sakit dibuatnya. Para kolega yang  ku punya, malangnya diantara mereka ada yang terkena tembakkan itu. Sekuat tenaga ku kerahkan semua yang aku punya, yang aku bisa. Tapi hasilnya nihil, sebuah masalah baru kemudian menyeruak kepermukaan.
      
     Dinginnya suhu seakan menjadikan semua problema membeku. Entahlah, mungkin astronot diluar angkasa sana sedang menyemprotkan parfum. Mungkin anak dibawah umur yang masih sekolah dipaksa untuk bekerja. Mungkin ada yang menggali tambang diatas langit. Mungkin kaki ayam membengkak menyerupai kaki dinosaurus. Mungkin? mungkin saja.
         
       Lelahnya hari ini seakan mendorong langkah kakiku untuk menepi disisi sungai. Ada hal yang terlintas dibenakku, mengingat semua hal yang pernah terjadi dihidupku kemudian aku teringat akan sosok yang tak mungkin pernah aku lupakan. Dia adalah temanku berteriak dan berlari, kemanapun kami pergi kami selalu membuat memori. Tentang sepeda yang kami rubah menjadi limosin, tentang penjelajahan samudra yang pernah kita lakukan disebuah selokan, juga cerita tentang pohon jambu di dekat kolam. Mungkin hanya seekor monyet miliknya yang masih mengingat hal itu. Tak ada foto, tak ada gadget maupun alat perekam memori lainnya. Yang ada hanyalah hamparan tanah hijau yang luas, tempat kami berbaring dibawah awan dan tempat kami bercerita mengenai hari. Kisah kami memang hanya sebuah memori. Menyedihkan saat semua keindahan itu hancur berserakan oleh kesalahpahaman. Lucu memang, tetapi sungguh aku rindu cerita itu. Cerita yang mungkin takkan pernah terulang kembali. Tetapi aku bersyukur kepada tuhan karena aku yakin ia juga pasti akan membagikan alunan melodi pagi yang indah ini kepadamu. Tepat disaat kau merasakan hal yang sama. Saat dunia mungkin tidak sedang menatap kearahmu. Coba ingatlah hari itu, saat roda sepeda berputar tepat disamping kaki kita. Aku masih disana, dan akan tetap selalu disana sampai cahaya merenggut semua keindahan ini. Aku dan melodi pagi.

Leave a Reply

Subscribe to Posts | Subscribe to Comments

Promotions